- Sahabat Lama Menyapa Dalam Mimpi
Photo by Sandra Grünewald on Unsplash Sahabat lama menyapa dalam mimpi? Iya, dia menyapa saya dalam mimpi. Saya terkejut dan terbangun dari mimpi saya. Saya tercenung karena mimpi itu seperti hal yang nyata. Dia seperti tampak jelas ada di depan saya. Wujudnya, senyumnya, wajahnya, dan bahkan suaranya pun terdengar lantang dan jernih. Saya bingung. Kenapa dia tampak begitu nyata? Kenapa dia begitu seperti nyata menyapa saya “Hai”? Saya yang terkejut, balik menyapanya, “Hai Fia. Koq kamu ada di sini? Ngapain kamu di sini?”
Fia, dengan senyumannya yang manis dan wajahnya yang tampak lebih cantik dan lebih bersinar dari yang kuingat menjawab, “Iseng aja aku, jalan-jalan”. Iseng? Jalan-jalan? Jalan-jalan di tempat saya?Saya secara refleks berkata, “Tempatmu kan bukan di sini lagi?” Fia tersenyum lebar dan berbalik badan. Lalu saya terbangun …
Tempatnya Fia memang bukan di bumi ini lagi. Dia sudah pergi 7 tahun yang lalu karena sakit kanker. Fia adalah salah satu sahabat saya dari SMA. Orangnya baik dan agak pendiam. Kami sama-sama pergi ke Bandung untuk kuliah, dan sama-sama kembali ke Jakarta setelah tamat kuliah. Kami yang masih menjomblo di saat teman-teman yang lain satu per satu menikah. Karena itu, kami punya kebebasan dan kesempatan lebih luas untuk menjelajahi negeri.
Namun, di penjelajahan yang terakhir, Fia membawa banyak obat. Saya bingung. Fia memang pendiam. Dia jarang bercerita tentang dirinya, lebih banyak saya yang curhat. Maka saya bertanya, “Apa itu? Obat? Koq banyak sekali?” Fia menoleh dan menatap saya. Sesaat saya kira dia akan menjawab pertanyaan saya, tapi dia diam. Suasana jadi hening, membuat saya jadi merasa tidak enak. Fia rupanya tersadar dengan situasi yang disebabkan oleh tatapan diamnya itu. Dia menjawab, “Iya…” tapi kemudian jawaban itu menggantung. Namun buru-buru Fia menyelesaikannya, “Nanti deh kuceritakan, tidak sekarang …” Oh … oke. Itu jawabku. Tiga tahun kemudian baru aku memperoleh ceritanya, yang diceritakannya di tempat tidur dengan kondisi sakit, lemah dan amat kurus. “Aku sakit kanker payudara. Obat yang waktu kita jalan-jalan ke Padang itu, itu obat kankerku.” Aku terhenyak. Ya Tuhan. Fia … Dia sama sekali tidak tampak sakit waktu penjelajahan itu. Aku berusaha mengingat-ingat tanda-tanda yang menunjukkan dia sakit, tapi tidak ada.
Fia kuat sekali dan sangat tabah. Satu tahun setelah membuka diri tentang obat dan kondisinya, Fia mengatakan sesuatu yang membuat saya menangis. “Kamu masih ingat tidak dengan cita-citaku?Setelah lulus kuliah, impianku cuma tiga hal : bekerja, naik haji, dan mati …Bekerja sudah tercapai, naik haji juga sudah, tinggal mati …” Setahun kemudian ‘cita-cita’-nya yang terakhir tercapai.
Lalu kini, 7 tahun kemudian, dia muncul dalam mimpi saya dan menyapa saya dengan riangnya, ada apakah? Apakah ada suatu maksud yang ingin disampaikannya? Kepada sahabat saya yang lain, saya ceritakan mimpi itu sambil berencana mengajaknya ziarah ke makam Fia. Sahabat saya itu menyambut baik ajakan saya, “Ayo. Fia mungkin kangen dengan kita…”
Kami pergi ke makamnya. Makam Fia tampak terawat. Sahabat saya berkomentar, “Wah, ini pasti ibunya yang rajin datang ke sini. Kebayang ya perasaan sedih seorang ibu, anak bungsunya, perempuan satu-satunya, lebih dulu pergi …” Saya tidak terlalu mendengarkan kata-kata sahabat saya itu. Mata saya terpaku pada nisan di belakang makam Fia. Saya cuma mencolek sahabat saya sambil menunjuk nisan itu. Nisan itu masih baru. Tertulis di sana, ibunda Fia yang pergi menghadap Sang Pencipta seminggu yang lalu. Saya menatap sahabat saya. Saya rasa, saya tahu makna mimpi saya itu. Fia ingin memberitahu saya bahwa dia sekarang senang dan bahagia, karena bisa berkumpul lagi dengan sang Ibunda.
Teruntuk sahabatku, di manapun kau berada. Aku senang, kau menunjukkannya padaku Kau sudah berkumpul kembali dengan Ayah dan Ibu Dan aku merasa, ini yang pertama dan yang terakhir kali kau berkomunikasi denganku sejak kepergianmu Setelah ini, semua lenyap Yang ada hanya keheningan alam semesta yang maha luas
- Hal yang Mengejutkan dari Decluttering Kertas
Photo by Ella Jardim, Unsplash. Kita semua sudah tahu bahwa proses decluttering membawa manfaat antara lain mengurangi tingkat kecemasan dan stres, perasaan senang karena hal-hal menjadi rapi, bersih dan nyaman, dan kita menjadi lebih kreatif dan produktif.
Ketika sedang dalam proses decluttering kertas dan buku, saya beberapa kali dibuat terkejut sekaligus terkesan. Apa yang membuat saya terkejut? Ternyata ada banyak sekali kertas di rumah, boleh dibilang itu timbunan kertas. Kertas-kertas yang sebelum decluttering tampak seperti tumpukan biasa saja. Tetapi saat mulai membereskannya, percaya atau tidak, ternyata saya memerlukan waktu hampir seminggu untuk membereskannya. Ada kertas laporan bank, kertas coret-coretan, kertas kerja, kertas kado, kertas gambar, amplop-amplop kosong, bon belanja, kuitansi, struk ATM, kertas tol, kertas parkir, kertas bungkusan, dan seterusnya. Kertas-kertas itu ada yang berumur 10 sampai 15 tahun. Malah ada kertas lamaran kerja dari orang-orang yang melamar ke kantor tempat saya bekerja lengkap dengan fotonya. Saya dulu sempat menjadi seorang atasan, dan karena sibuk, saya sering membawa pulang kertas-kertas kerja, termasuk surat lamaran kerja itu. Saya tercenung melihat berkas lamaran kerja itu. Betapa waktu sudah lama berlalu. Ketika kembali lagi melihat tumpukan kertas yang lain, saya merasa tertekan dan eneg. Kapan habisnya ini kertas-kertas?
Di tengah rasa capek dan mual melihat dan membereskan tumpukan kertas, terselip rasa senang, karena menemukan lembaran uang di antara lipatan-lipatan bon belanja dan kuitansi. Ada uang 5.000,- dan 10.000,-. Tapi juga ada uang … 50.000,-. Ya ampuun, saya ini koq bisa lupa menaruh uang sebesar itu?
Tapi yang paling berkesan adalah penemuan draf naskah cerita-cerita pendek saya. Draf naskah yang tidak pernah saya selesaikan. Benar-benar saya terkesan. Terkesan sekaligus terkejut karena saya lupa kalau saya pernah menulis cerita-cerita itu. Coba simak salah satu tulisan itu.
Pagi ini terjadi kehebohan. Telepon di ruangan kami tidak bisa digunakan langsung keluar. Ketika diperiksa, saluran langsungnya dalam keadaan diblokir. Aku bertanya ke Irin. Kata Irin, itu atas perintah bos yang kesal karena tagihan telepon melonjak. Aku, yang mewakili teman-teman, menghadap ke bos dan bertanya kenapa tidak dirundingkan dulu dengan kami dan ditelusuri telepon ke mana saja yang menyebabkan tagihan membengkak. Ternyata bos tidak pernah memerintahkan pemblokiran saluran langsung itu. Dia memang marah, tetapi dia hanya minta Irin untuk menyampaikan kepada kami agar berhemat. Itu saja tindakannya. Jadi siapa dong, yang melakukannya? Erlin ternyata, si sok wibawa! Dan gayanya acuh saja di depan kami seperti tidak terjadi apa-apa, padahal kejadiannya begitu ramai. Kata Irin, “..yah, sekarang dia acuh … tapi kemarinnya aku yang dibentak-bentak dia. Aku yang dimarahi karena tidak berani tegas terhadap telepon para staf…” Kami penasaran. Atas desakan teman-teman, Irin meminta cetakannya di kantor Telkom. Lalu kami telusuri nomor-nomor yang membengkakkan pulsa telepon. Ternyata asalnya dari Erlin sendiri. Dia yang banyak melakukan sambungan jarak jauh.
Lucu! Dan seruuu! Aku ternyata berbakat menulis ya … Dan aku tertawa karena memuji diri sendiri.
- Return to the Beauty
Akhir pekan yang menekan
Ketika berita duka disampaikan
Tak ada yang lebih membuat tercenung
daripada orang-orang terdekat pergi menghadapNya
Walaupun hidup akan tiba pada ujungnya
Tetap saja terhenyak saat ujung itu di depan mata
Engkau sudah terbebas dari rasa sakit itu saudaraku
Beristirahatlah dengan damai
You were born a child of light’s wonderful secret – you return to the beauty you have always been – Aberjhani, Visions of a Skylark Dressed in Black