Seorang teman mengajak saya untuk ikut virtual tour alias wisata virtual ke Bhutan. Karena virtual tour ini sesuatu yang baru dan saya baru mendengarnya selintasan, tentunya saya bertanya apa itu virtual tour. Saya punya bayangan virtual tour itu adalah wisata online. Tetapi online yang bagaimana? Tour guide yang akan memandu kami menjelaskan bahwa virtual tour adalah wisata atau perjalanan yang dilakukan secara online yang dilakukan dalam tiga cara, yaitu : live streaming (seorang tour guide akan merekam perjalanannya dengan video yang kemudian disiarkan secara langsung melalui video conference), kompilasi dari berbagai video, google street view dan map, dan foto yang kemudian disiarkan di Zoom, dan cara yang ketiga adalah semacam seminar online di mana seorang tour guide memaparkan slide-slide ke hadapan peserta pada sebuah video conference.
Saya tidak tahu banyak tentang Bhutan selain Bhutan adalah negara kecil di timur India yang mendapat predikat negara dengan penduduk paling bahagia di dunia. Jadi saya memutuskan ikut virtual tour itu yang biayanya adalah sebesar Rp. 50.000,-.
Bentuk virtual tournya adalah kompilasi dari berbagai foto, video, dan google street view dan map. Foto-foto dan videonya adalah hasil jepretan dan rekaman tour guidenya. Sayangnya, kualitas kompilasinya tidak high-resolution sehingga tayangannya agak tersendat-sendat. Tetapi masih bisalah ditonton dan dinikmati. Sebagai pengetahuan kami, tour guide kami sudah 9 kali memandu grup wisatawan ke Bhutan. Berwisata ke Bhutan tidak bisa dilakukan perorangan dan solo backpacker, tetapi harus dalam grup.
Tur dimulai dari take off dari Cengkareng menuju Bangkok. Tidak ada penerbangan langsung dari Indonesia ke Bhutan dan transit di Bangkok adalah rute penerbangan yang paling disarankan oleh para tour guide kami.
Ketika hendak mendarat di Paro, tour guide kami memperlihatkan video pesawat melakukan manuver. Mengapa? Karena kondisi geografis Paro adalah sebuah lembah yang dikelilingi gunung. Jadi pesawat harus bermanuver untuk mendapatkan posisi terbuka menuju landasan. Tour guide kami mengajak kami ke sebuah dataran tinggi untuk menyaksikan pesawat mendarat. Saya bingung, mengapa melihat-lihat pesawat mendarat. Ternyata saya baru tahu bahwa bandara Paro adalah satu dari lima bandara paling berbahaya di dunia. Karena kondisi geografisnya yang diapit pegunungan tinggi seperti yang sudah disebutkan tadi, landasannya yang pendek, dan ini yang membuat bandara itu termasuk berbahaya : bandara itu tidak memiliki menara kontrol. Jadi, kehandalan pilot sangat dibutuhkan untuk mendarat dan lepas landas. Karena itulah, penerbangan dari dan ke Bhutan hanya ada dua maskapai dan waktu penerbangannya hanya pagi hari.
Setelah mendarat di Paro, kami langsung diajak ke Timphu , yang merupakan ibukota Bhutan. Di Timphu kami mengunjungi benteng Tashichho Dzong, yang juga merupakan tempat raja Bhutan bekerja dan memerintah. (Mata saya terkerjap-kerjap membaca kata dengan dua huruf h). Selanjutnya, saya tidak begitu ingat urutan perjalanannya. Saya hanya ingat mengunjungi istana raja, yaitu Punakha Dzong. Tour guide kami memperlihatkan koleksi pribadi foto cantik istana Punakha dengan jajaran pohon Jacaranda yang sedang mengeluarkan bunganya yang berwarna ungu. Di bawah ini foto istana Punakha yang saya klip dari Google Maps. Silakan diklik fotonya untuk gambar yang lebih jelas.

Selain istana Punakha, yang saya ingat adalah Punakha Suspension Bridge (jembatan suspensi Punakha), Dochula Pass – sebuah ngarai pegunungan Himalaya di mana terdapat hamparan 108 stupa, suku Sakteng, hewan ikonik nasional Bhutan yaitu Takin yang tubuhnya seperti antilope tetapi wajahnya mirip seekor kambing, Festival Paro dengan warganya yang semuanya memakai kira yaitu pakaian nasional Bhutan (sampai aku tidak ingat tentang apa Festival Paro itu saking fokusnya melihat tour guide kami dipakaikan kira), dan biara yang luar biasa yaitu Paro Taktsang dan Tiger’s Nest. Tour guide kami menyertakan video tentang mereka trekking menuju Paro Taktsang yang memperlihatkan perjalanan naik tangga yang panjang sekali. Tour guide kami juga mengatakan, jangan ditanya bagaimana caranya membangun biara itu di tebing yang curam itu.
Tidak terasa, waktu dua jam virtual tour ini selesai sudah. Selain tempat-tempat wisata, virtual tour itu juga memperlihatkan jalanan kota Timphu saat sekarang ini dan saat lockdown, polisi lalu lintas yang seperti menari saat mengatur arus kendaraan di persimpangan tanpa lampu lalu lintas (Timphu adalah kota kecil tapi ternyata ramai juga lalu lintasnya), beberapa kedai kopi kecil di sepanjang jalan, warung kelontong, bandara Yonphula yang tidak kalah menakutkannya dibandingkan dengan bandara Paro, dan makanan lokal Bhutan yang dominan sayur daripada dagingnya – itulah makanya penduduk Bhutan adalah manusia sehat dan bahagia karena lebih banyak makan sayuran. Jangan cari makanan seafood di Bhutan, karena tidak tersedia. Bhutan jauh dari laut, yang memakan ongkos mahal untuk bisa menyediakan bahan makanan seafood.

Saya senang mengikuti virtual tour itu. Foto-foto dan videonya indah. Ada pengetahuan dan cerita-cerita menarik yang didapat. Tetapi … tetap ada yang kurang. Pengalaman sungguh-sungguh berada secara fisik di Bhutan itu yang tidak ada. Saya tidak bisa merasakan anginnya Bhutan, tidak bisa membaui aroma kedai kopinya, tidak merasakan sensasi dan getaran saat melihat pemandangan indah Bhutan, tidak bisa merasakan bagaimana rasanya memakai kira pada acara festival rakyat, dan .. tidak bisa mencicipi kuliner negara kecil itu. Bagi saya, kuliner tidak bisa ditinggalkan. Dengan kuliner pengalaman berwisata itu menjadi lengkap dan seru.
Di akhir tur, terpampang rincian biaya tur nyata ke Bhutan. Biaya yang hampir sama besarnya dengan biaya tur ke Eropa selama 5 hari. Kenapa begitu?
Tinggalkan Balasan