To be everywhere is to be nowhere – Lucius Annaeus Seneca in Letters from Stoic”
Saya membaca sebait pepatah itu di instagram (yang seketika mengingatkan saya akan keberadaan buku itu, di mana saya menaruhnya ya?). Kata-kata yang sangat mengena di diri saya. Bukan dalam pengertian sebagai traveller yang pergi ke segala penjuru dunia, bertemu dan berkenalan dengan banyak orang tetapi kenyataannya dia sendirian, tidak punya teman, namun dalam konteks bakat dan kemampuan. Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, saya hanya ingin mengatakan saya dianugerahi banyak bakat dan kemampuan belajar sesuatu dengan mudah. Itu memang anugerah yang indah. Saya sangat berterima kasih kepada Sang Pencipta. Tetapi di sisi lain, bakat itu membuat saya kerepotan. Saya ingin mengerjakan banyak hal sekaligus, ingin melakukan semuanya dalam satu waktu. Saya ingin menulis sebuah cerita, di saat yang bersamaan saya ingin melukis. Saya ingin berkebun, di saat yang bersamaan ingin mencoba resep enak di dapur. Saya bisa mengerjakan banyak hal termasuk pekerjaan kreatif, namun ya begitu deh, sebatas bisa, bukan ahli atau yang menguasai bidangnya. Bertahun-tahun saya seperti itu. Saya dikenal sebagai orang yang serba bisa. Tetapi ketika saya berhenti dari bekerja kantoran, barulah muncul pertanyaan. Saya ini sebenarnya siapa, bisa apa? Orang-orang tidak tahu saya bisa apa, keahlian saya apa.
Jadi, saya merasa sudah ke mana-mana tapi sebenarnya tidak ke mana-mana, hanya ‘di situ’ saja.
Tinggalkan Balasan