Aku dibuat ‘melek’ umur saat memasuki bulan November 2020 kemarin. Tahun-tahun sebelumnya aku tak hirau, tetapi di bulan November ini, aku menjadi hirau karena usiaku menapak angka pertengahan 50.
Aku tidak merasa tua. Saat petugas statistik demografi kependudukan menggolongkan usiaku sebagai golongan pre-lansia, aku sempat merasa tidak terima dan terlalu berlebihan kalau umur 50-an digolongkan lanjut usia. Petugas statistik itu tersenyum. “Di negeri indah ini, angka 50 sudah digolongkan lanjut usia, tapi tidak demikian di negeri barat. Di sana, usia lansia itu adalah 70 ke atas.” Oh begitu?
Bulan November 2020 itu juga membuatku memutar kembali kehidupanku. Tahun-tahun aku bekerja, kuliah, dan sekolah. Masa-masa ketika Ayah dan Ibu masih ada, begitu pula nenek (aku tak menyebut kakek karena mereka sudah tidak hadir ketika aku dilahirkan), saudara-saudara Ayah, dan kerabat di generasi orang tuaku yang belum meninggalkan bumi ini. Saat uang 500 rupiah masih berwujud kertas. Televisi berupa kotak besar dengan kaki seperti sebuah lemari. Naik bus kota dengan ongkos 50 rupiah. Nasi rames yang terdiri dari nasi, sayur, tempe dan telur seharga 100 perak. Saat menelepon dilakukan dengan cara memutar angkanya. Tukang koran berkeliling sambil meneriakkan ‘koran, koran’. Menonton teknologi menakjubkan tentang alat komunikasi jarak jauh seukuran genggaman tangan di film Star Trek, yang kemudian di tahun ’80-an menjadi kenyataan, yaitu telepon seluler. Sore-sore bermain gasing, petak umpet, lompat tali, congklak bersama teman-teman. Kilas balik yang bukan memunculkan perasaan senang tetapi malah memunculkan perasaan sedih dan kehilangan, bahwa semua peristiwa dalam kilas balik itu hanyalah kenangan yang memudar dan akhirnya hilang dalam kesunyian.
Bulan November 2020 tidak hanya tentang menuanya masa-masa yang sudah lewat, tetapi juga tentang kekinian. Kekinian yang menyesakkan. COVID, kata-kata “stay health, keep the distance”, sekolah-kuliah-bekerja daring, zona yang semakin merah, belanja online dengan kendala-kendalanya yang tipikal seperti misalnya waktu pengiriman yang lama, salah barang, penjual yang tidak merespons sampai proses retur dan refund yang menyusahkan konsumen, lalu ada zoom meeting-zoom seminar yang berlangsung hampir setiap hari tetapi tanpa snack dan materi cetak, youtube, konser musik virtual, UKM, hashtag bantu teman jualan, semua orang jualan makanan, “tetap di rumah aja”, sampai pada urusan kekeluargaan pun juga menyesakkan. Urusan keluarga yang ini, mendesakkan kesabaranku ke batas maksimum. Aku dihadapkan pada situasi ibarat kita yang punya uang belinya es teh manis, sedangkan yang dipinjami uang belinya kopi Starbuck. Ibarat kita yang punya uang jalan-jalannya ke Jogjakarta, yang dipinjami uang jalan-jalannya ke Jepang. Urusan keluarga, ipar, mertua yang tidak pernah gampang. Di usia pernikahan yang sudah lebih dari 20 tahun, aku kira berkompromi itu mulai berkurang karena semua pihak menjadi dewasa dan bijak, tetapi ternyata tidak. Dan aku, yang selama ini bisa berkepala dingin, sabar, dan mengalah, kali ini, di bulan kelahiranku, aku berteriak dan menghantamkan peluru emosi. Hadiah dari diriku untuk ulang tahunku.
Tinggalkan Balasan